Berkelana di Tengah Antrian

Salah satu perkara yang paling membosankan bagi sebagian besar orang, adalah menunggu, meski dalam situasi dan kondisi yang beragam. Baik menunggu antrian, menunggu teman janjian, menunggu kiriman, menunggu jadwal keberangkatan, hingga menunggu jodoh yang entah di mana.

Sepandek hidup, saya sendiri entah sudah berapa kali mengalami proses menunggu sebagaimana disebutkan. Bahkan hidup sendiri, mau tidak mau, sepakat atau tidak, adalah prosess menunggu; yaitu menunggu kematian. Menunggu kematian mungkin terdengar agak skeptis sekaligus mengagetkan, namun demikianlah kenyataannya.

Dari pada menggerutu dan banyak mengeluh di tengah proses menunggu tersebut, bukankah lebih baik jika kita “menikmatinya”? Hal ini yang saya coba lakukan saat menunggu antrian di rumah sakit mata sebanyak dua kali guna memeriksakan mata saya yang makin rabun. Alih-alih mengeluh dan menggerutu saat menunggu antrian, saya justru menikmati antrian itu dengan membaca buku.

Saya memang termasuk orang yang suka membawa buku bacaan saat melakukan perjalanan. Terlebih di tengah tradisi generasi kekinian kita (sebagian) yang telah terlanjur memilki ketergantungan terhadap gadget. Banyak riset yang telah merilis bahwa generasi saat ini lebih sering melihat gadget-nya setiap lima hingga sepuluh menit. Saya tidak akan bercerita tentang hasil-hasil riset tersebut, silahkan pembaca bisa akses di google.

Akan tetapi, kegemaran saya membawa buku tersebut hanya sebatas pada saat saya melakukan perjalanan jauh. Sangat jarang saya membawa buku saat bepergian jarak dekat. Hingga tiba di satu pengalaman yang membuat saya ‘ketagihan’ membawa buku kemanapun saya pergi, yaitu pengalaman antri di rumah sakit sebagaimana telah saya sampaikan.

Sesudah memperoleh surat rujukan dari puskesmas, saya berencana akan menuju rumah sakit mata sesegera mungkin sesuai jadwal yang ditentukan dalam surat rujukan. Tujuannya adalah rumah sakit mata milik pemerintah provinsi Sulawesi Utara yang berada di kelurahan Pakowa kota Manado. Saya sudah cukup lama memiliki masalah dengan penglihatan. Tulisan yang ditampilkan di layar proyektor tidak dapat saya baca dari jarak lebih dari empat meter. Oleh karena itu, saya merasa harus secepatnya ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan. Saya juga mendapat pesan dari dokter puskesmas tempat saya meminta surat rujukan, bahwa saya harus datang lebih awal agar mendapat antrian di nomor awal.

Waktu menunjukkan jam 07.30 pagi saat saya bergerak ke rumah sakit pada tanggal kunjungan yang ditentukan dalam surat rujukan. Karena jalan menuju rumah sakit bertepatan dengan jalan ke kampus IAIN tempat saya mengabdi sebagai dosen, maka saya mampir ke kampus untuk mengambil kiriman buku pesanan saya secara online yang telah tiba di pos security, sekalian meminta izin kepada atasan. Buku tersebut adalah karya besar dari Tania Murray Li, berdasarkan hasil riset entografi selama 20 tahun di wilayah perbukitan Lauje, Sulawesi Tengah. Tania merupakan Guru Besar pada Departement of Anthropology, University of Toronto.

Saya mendapatkan antrian ke 76 saat tiba di rumah sakit pada pukul 08.30. Antrian sedemikian panjang cukup masuk akal bagi rumah sakit setingkat provinsi. Saat saya duduk di ruang tunggu lantai satu, petugas registrasi masih menyuarakan nomor antrian ke 14.  Orang-orang yang duduk menunggu terlihat sibuk dengan gadget dalam genggaman masing-masing. Saya mencoba menghibur diri dengan membuka youtube dan menonton konten wisata dan bushcraft. Namun, tidak sampai sepuluh menit, gadget saya mati karena kehabisan daya.  Ini akan membutuhkan waktu yang cukup lama, pikir saya.

Karena bingung, ditambah dengan proses menunggu antrian yang membosankan, saya kemudian membuka buku yang tadinya telah saya ambil di pos security, dan mulai membaca. Buku ini adalah rekomendasi seorang senior sekaligus guru akademik saya, sebagai bacaan di waktu senggang.

Buku tersebut berjudul “Kisah dari Kebun Terakhir; Hubungan Kapitalis di Wilayah Adat”. Di lembar pertama, saya membaca testimoni dari berbagai pihak tentang pujian mereka atas buku ini. Di halaman pendahuluan, saya membaca tentang epilog seorang keluarga petani di pedesaan yang mencoba bertahan hidup di tengah sebidang lahan yang tidak produktif. Anak-anak desa yang kurus-kering menggotong karung-karung kapuk berat untuk dijual. Penulis dengan kemampuan naratifnya, membawa saya seolah-olah terlibat langsung dalam keberlangsungan hubungan-hubungan kapitalis di wilayah adat perbukitan Lauje, Sulawesi Tengah.

Lembaran-demi lembaran telah saya baca. Saya semakin tenggelam. Hingga tak terasa, nomor 76 dibunyikan di microfon. Saya melihat hampir satu jam saya menunggu hingga nomor antriian saya di umumkan. Namun, suasana pikiran saya yang tenggelam dalam buku, membuat saya tidak merasakannya.

Setelah registrasi, saya di arahkan di lantai dua di ruang tunggu berikutnya untuk menjalani pemeriksaan. Di sini, daftar antrian lebih banyak dari sebelumnya. Namun, alih-alih gerah dengan antrian panjang, saya justru bahagia karena dapat kembali “menenggelamkan” diri ke dalam bacaan saya.

Buku Tania Murray Li yang saya baca saat menunggu antrian

 Dalam antrian di lantai dua ini, saya kembali “tenggelam” dalam buku, khususnya ketika membaca bagian ke dua yang menceritakan lansekap daerah dan penghuni perbukitan Lauje sebagai orang miskin dan terbelakang, serta situasi yang memaksa mereka untuk memperbaiki nasib. Seolah terasa singkat, tiba-tiba nama saya dipanggil untuk mendapatkan pengobatan. Waktu menunjukkan pukul 13.00. Artinya, sejak saya tiba mengambil nomor antrian, saya telah menunggu selama lebih dari empat jam.

Saya keluar dari rumah sakit dengan membawa dua macam perasaan bahagia. Pertama, tentu karena berhasil mendapatkan pengobatan. Kedua, karena saya mendapatkan pengalaman baru dalam proses menunggu antrian; Proses menenggelamkan diri dalam buku.

Hal tersebut juga telah saya lakukan saat kembali berkunjung beberapa pekan kemudian untuk pengobatan kedua. Kali ini saya membawa buku karya guru besar Sejarah Maritim, Prof. Adrian B. Lapian, dengan judul “Orang Laut, Raja laut, Bajak laut”. Buku ini menceritakan kisah masyarakat Bahari, penguasa maritim, serta para pengembara laut. Saya benar-benar tenggelam membaca karya ini khususnya pada bab yang menceritakan tentang kisah kehidupan masyarakat Bahari, di mana budaya dan kehidupan orang-orang di dalamnya tidak pernah terlepas dengan laut serta orang-orang yang tinggal di perahu sebagai pengembara laut.

Buku Prof. Adrian B. Lapian yang saya baca saat menunggu antrian

Lagi-lagi, pengalaman tersebut membuat saya merasa mendapat manfaat dua kali lipat; Mendapatkan pengobatan, sekaligus berkelana. Pengalaman pertama berkelana di perbukitan Lauje, sedangkan pengalaman ke dua berkelana di laut bersama masyarakat dengan budaya Bahari dan para pengembara laut.

Tentu tidak semua orang gemar membaca buku. Pengalaman berobat di rumah sakit, dari semua orang yang antri, hanya saya yang membaca buku. Sebagian tidur, dan sebagian besar lainnya menghibur diri dengan gadget.

Tulisan ini barangkali tidak cocok untuk para pecandu gadget. Akan tetapi, di tengah polusi informasi digital yang merajalela, berkelana di dalam buku terutama saat menunggu antrian, tidak ada salahnya untuk dicoba.

Menggunakan waktu menunggu dengan membaca buku mungkin tidak akan mampu menghidupkan tradisi membaca masyarakat yang memang tidak ada peningkatan. Cita-cita menghidupkan tradisi membaca generasi muda Indonesia barangkali hanyalah utopia. Namun setidaknya, berkelana dalam buku, dapat dijadikan proses  “istirahat” dari kesibukan, maupun penyegaran pikiran di tengah polusi digital yang semakin merajalela*

Tinggalkan komentar