Meneladani Tokoh Kampung; Catatan tentang keteladanan tokoh kampung di desa Lolanan, Bolaang Mongondow.

Pada catatan dalam Haul Kakek tercinta, alm. Laki Aneng (tete Aneng), saya telah menceritakan sepenggal perjalanan hidup saya dengan kakek tersebut, tatkala saya menderita cedera dan dirawat di hutan tapa’ togop. Bagaimana pengorbanan kakek menggendong saya naik-turun gunung mencari obat-obatan untuk mengobati kaki saya yang mengalami cedera, mencari ikan di malam hari, dan  memanen singkong sebagai bahan makanan pokok. Dalam kesempatan ini, kembali saya ingin membagikan kisah kakek yang lain. Bagaimana seorang kakek yang sekaligus sebagai tokoh jiow (kiyai kampung), namun sangat dihormati oleh para pendeta dan masyarakat kristen protestan di desa tetangga.

Sebagaimana telah saya ceritakan pada catatan sebelumnya (lihat di https://angga25id.wordpress.com/2018/11/10/pahlawan-tanpa-nama/ , kakek adalah  orang yang suka membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun. Kalaupun toh ingin memberi imbalan, disesuaikan dengan kondisi ekonomi pasiennya. Kakek biasanya tidak menerima imbalan apapun jika pasiennya tergolong miskin. Pada suatu kesempatan, kakek mengobati pasien yang menderita patah tulang karena jatuh dari pohon, namun pasiennya membayar ongkos pengobatan dengan memberi imbalan berupa 2 Kilogram (Dua kilogtam) beras, karena pasiennya tersebut yang hanya bekerja sebagai buruh tani.

Ketika saya bertanya mengapa ongkos bayar pengobatan patah tulang hanya sedemikian murahnya, kakek menjelaskan dengan santai bahwa sebenarnya kakek akan mengobati pasien tersebut secara cuma-cuma alias gratis. Hal ini karena pasien tersebut hanya menggantungkan hidupnya dan keluarganya dari hasil menjadi buruh tani dan tukang panjat kelapa.  Laki Aneng terpaksa menerima ongkos pengobatan itu justru untuk menghargai sang pasien. Kakek khawatir,  petani miskin tersebut akan merasa terbebani kalau kakek tidak menerima imbalan atas pengobatan yang kakek lakukan terhadap tulang kakinya yang patah. Lain halnya dengan pasien golongan menengah ke atas. Pasien dengan ekonomi kelas menengah ke atas (semisal PNS, Polisi, Tentara, pengusaha, pejabat publik dan lain-lain) biasanya memberi upah uang cash dengan jumlah cukup banyak. Upah tersebut-lah yang akan digunakan kakek untuk membiayai sekolah anak-anaknya.

Namun, saya akan menceritakan pengalaman-pengalaman saya bersama Laki Aneng tersebut sepotong-demi sepotong. Salah satu “potongan” cerita tersebut yaitu pengalaman saya di rumah kakek pada pagi hari. Setiap saya mampir ke rumah kakek pada pagi hari untuk salaman dan cium tangan saat hendak ke sekolah (saya selalu melakukan itu saat saya masih SD), rumah sederhana kakek tersebut hampir setiap pagi sering kedatangan tamu yang mengantarkan ikan laut segar hasil tangkapan malam sebelumnya dengan ukuran bervariasi. Dari ikan tongkol (Deho), Cakalang, Ikan Goropa, cumi-cumi, dan lain sebagainya. Jumlahnya juga sangat banyak, karena di taruh di dalam dua kantong plastik merah ukuran jumbo. Semuanya gratis termasuk gratis biaya pengantaran (atau gratis ongkir). Tentu saja kakek tidak bisa menghabiskan semua ikan-ikan itu. Maka, setelah pengantarnya pamit pulang, kakek kemudian membagi-bagikan ikan-ikan itu kepada para tetangga untuk dimasak. Kakek hanya menyisakan beberapa potong saja untuk dimasak nenek, supaya di rumah kakek dan nenek ada sedikit lauk-pauk sebagai bahan makanan untuk  sehari.

Saya mengetahui bahwa semua ikan yang diberikan secara cuma-cuma ini, diberikan langsung oleh masyarakat kristen protestan di desa tetangga (desa Posianga dan Batumerah) yang berprofesi sebagai Nelayan. Setiap para nelayan itu pulang dari melaut, sebelum mereka menjual hasil tangkapan mereka, terlebih dahulu mereka akan menyisihkan sebagian hasil tangkapan tersebut untuk di berikan kepada Laki Aneng. Alasan para nelayan melakukan itu, karena mereka sangat menghargai dan menghormati sosok laki Aneng. Penghormatan mereka kepada kakek tersebut, diungkapkan oleh beberapa nelayan (saya tidak mengetahui namanya), bahwa selain kakek telah berjasa mengobati pendeta mereka di Desa Posianga, kakek juga telah berjasa mengobati beberapa keluarga mereka yang menderita luka parah pasca kecelakaan.

Seorang Jiow (ulama kampung) di desa Lolanan Bolaang Mongondow (saya akan menuliskan sejarah dan teritori desa ini di lain kesempatan) seperti laki Aneng, yang selalu mengajarkan para anak-cucunya (semua anak di kampung dianggap sebagai anak/cucunya sendiri) untuk sembahyang dan mengaji, tetapi juga merupakan tokoh sangat dihormati dan disegani di kalangan kristen protestan di desa tetangga. Melalui jasa-jasa beliau, warga desa Batumerah dan Posianga yang sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan, selalu memberi sebagian ikan hasil tangkapan mereka di laut secara sukarela kepada kakek sederhana ini.

Berdasarkan kisah tersebut, saya berasumsi bahwa kakek sebenarnya sedang mengajarkan kita tentang perwujudan nilai-nilai kultur yang harus diinternalisasi dalam segenap jiwa generasi muda di masa depan. Lewat keteladanannya tersebut, Laki Aneng tengah memberi pesan-pesan simbolik kepada generasi di masa depan tentang ajaran leluhur yang selalu menanamkan nilai-nilai luhur serta senantiasa menjaga hidup dan kehidupan yang berdampingan secara harmonis, walaupun dengan suku dan agama yang berbeda.

Di tengah marakanya ketegangan dan saling curiga antar suku dan agama di berbagai daerah, Laki Aneng tampil sebagai teladan masyarakat kampung, yang mengajarkan hakikat menjalani hidup sebagai manusia yang berada pada rute ‘mengabdi” kepada manusia lain yang membutuhkan pertolongan, tak peduli siapun dia dan apapun latar belakang suku dan agamanya. Sebagaimana semangat “mengabdi” kepada manusia lain yang diajarkan leluhur Bolaang Mongondow melalui  motto sakralnya “moto tompiaan (saling memperbaiki), moto tabian (saling menyayangi) moto tanoban (saling merindukan). Hal ini bukan hanya sekedar pengetahuan yang bersemayam di dalam isi kepala, tetapi diwujudkan dalam sistem perilaku yang telah menjadi kebiasaan (habitus) dan tanpa rekayasa.

Tentu sosok seperti Laki Aneng ini sangat berlimpah di lingkungan sekitar kita, khususnya yang ada di pelosok desa maupun di dusun-dusun kecil. Hanya saja, perlu penambahan tingkat keseriusan untuk memunculkan tokoh-tokoh kampung tersebut ke permukaan, syukur-syukur kalau pengabdian mereka tanpa pamrih itu dapat didokumentasikan lewat catatan singkat. Mungkin bisa dimulai melalui diskusi maupun wawancara kecil-kecilan dan (tidak perlu menampilkan kesan formal) berdiskusi dengan orang-orang desa, sambil merekam diskusi tersebut dalam audio recording, maupun dalam ingatan. Hasil rekaman tersebut kemudian dituangkan dalam catatan singkat, sehingga menjadi suatu produk untuk menciptakan “wacana tandingan”, atau lebih halusnya “sebagai penyeimbang” di tengah narasi kehidupan kekinian yang penuh artifisial, surplus rekayasa namun minus keteladanan.*

 

Tinggalkan komentar